Ilustrasi gambar : pbs.twimg.com
oleh Salim A. Fillah dalam Inspirasi. 02/10/2017
Sebagaimana manusia terdiri atas jasad, akal, dan ruh; setidaknya ada 3 unsur yang membentuk batik. Yang pertama motif, yang kedua proses kreatif, yang ketiga falsafah.
Sebagai yang paling lahiriah, yang pertama paling sering menimbulkan salah kaprah. Kesannya, seakan semua kain yang berhias gambar, berpola-pola, berlekak-lekuk, dan meliak-liuk, absah disebut batik. Padahal tentu tidak demikian.
Ini terkait pula dengan unsur kedua, yakni proses kreatif. Sejatinya, motif batik tumbuh dari proses “ngimba”, menciduk lalu meniup, dan “nitik” atau menorehkan guratan yang memanfaatkan lilin/malam sebagai penghalang pencelupan warna. Aslinya, tentu ia diterakan dengan canthing, hingga disebut sebagai batik tulis.
Yang ketiga, falsafah. Setiap daerah dengan pola kebudayaannya masing-masing memberi pemaknaan yang kaya pada batiknya. Daerah Mataraman seperti Yogyakarta dan Surakarta, memiliki tata aturan perbatikan yang amat njelimet terkait nama motif, makna, hingga siapa, kapan, dan di mana mengenakannya. Simbolisasi keyakinan dan ekspresi keagamaan juga kental di sini, tecermin dari berbagai motif yasan para Raja yang shalih. Daerah Pasisiran yang terbuka, menuangkan keceriaan, suasana kerja, pengaruh seberang, hingga unsur alam sehari-hari dalam batiknya.
Pada 2 Oktober 2009, UNESCO telah memasukkan batik dalam Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Dengan Keppres no 33 tahun 2009, jadilah 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Selamat hari batik; mari pastikan berbatik sebenarnya, karya anak bangsa, terutama tetangga. Cintailah ploduk-ploduk Indonesia. Sayang sekali kalau ternyata bukan batik, tapi hasil printing. Dari Guang Zhou pula.
______________
Kadang perlu menghadirkan suasana tertentu dalam menulis, seperti Batik motif Kunir Pita, yang mengamanatkan agar Nir diisi Nur, jangan sampai Nar. Keris hadiah dari Mas Unggul Sudrajat Galeri Omah Nara bertangguh Mataram Sultan Agung, berdhapur Tilam Upih, berpamor Wahyu Tumurun, berwarangka Gayaman Yogyakarta kayu Gaharu Wangi turut memberi aroma asyik menuliskan kisah salah seorang mujahid besar Jawa. Maturnuwun.