
Sebelum
penulis menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang diciptakan oleh Islam
dalam mendidik anak, alangkah baiknya penulis sajikan terlebih dahulu
–walaupun dengan serba ringkas- masalah perkawinan ini ditinjau dari
tiga aspek:
- Perkawinan sebagai fitrah insani
- Perkawinan sebagai kemaslahatan sosial
- Perkawinan selektif dan berdasarkan pilihan.
Hal ini mengingat bahwa penyajian
aspek-aspek seperti ini akan dapat menjelaskan letak pertautan antara
pendidik dengan memikul tanggung jawab, melahirkan anak, mengakui
keturunan anak, memelihara keselamatan jasmani dan akhlak, menumbuhkan
perasaan kasih sayang kedua orang tua kepada anak, saling membantu
antara suami istri dalam mendidik anak, meluruskan
kenakalan-kenakalannya serta mempersiapkannya agar menjadi insan yang
berguna bagi kehidupan.
Uraian lebih detail tentang ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut:
A. Perkawinan sebagai Fitrah Insani
Merupakan permasalahan nyata yang terdapat dalam konsep-konsep syariat Islam adalah, bahwa syariat menentang ruhbaniyyah (kerahiban). Karena ini bertentangan dengan fitrah manusia, kecenderungan, dan nalurinya.
Baihaqi telah meriwayatkan hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash radiyallahu anhu, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan pola hidup kerahiban kita dengan ajaran agama yang lurus dan mudah.”
Sabda Rasul sholallahu ‘alaihi wassalam yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi, “Siapa saja yang mampu untuk menikah, namun ia tidak menikah, maka tidaklah ia termasuk golonganku.”
Berdasarkan hadits-hadits ini dan yang
lain, dapat pembaca simpulkan bahwa Islam mengharamkan seorang muslim
untuk menahan diri dari perkawinan dan hidup berzuhud dengan niat
melakukan pola kerahiban, menyepi hanya untuk beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah. Lebih-lebih apabila seorang muslim itu mampu
melaksanakannya tanpa kesulitan apapun.
Apabila kita renungkan sikap Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam
dalam memelihara kepentingan individu-individu di dalam masyarakat dan
menanggulangi (kebutuhan) jiwa manusia, maka kita akan semakin yakin
bahwa pemeliharaan dan penanggulangan ini berdasarkan pengetahuannya
akan hakikat manusia dan tuntutan keinginan serta kecenderungannya.
Dengan demikian, setiap individu di dalam masyarakat tidak akan
melanggar batas-batas fitrah dan tidak akan melakukan hal yang berada di
luar kemampuannya. Bahkan dia akan berjalan di jalan yang benar secara
mudah, alami, lurus, dan sesuai dengan fitrahnya. Dia tidak akan
terkantuk ketika manusia lain berjalan lurus. Dia tidak akan mundur
ketika orang lain maju terus, dan tidak akan lemah ketika insan lainnya
kuat.
Firman Allah Subhanahu Ta’ala, “(Tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum: 30)
Inilah sikap Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam.
Beliau telah mempersiapkan sikap-sikap konstruktif dan edukatif yang
paling besar dalam menanggulangi tabiat-tabiat negatif dan memahami
hakikat manusia.
Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari Anas radiyallahu anhu, “Tiga
kaum pernah mendatangi rumah istri-istri Nabi Sholallahu ‘alaihi
wassalam untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Ketika mereka
diberitahukannya, maka seakan-akan mereka mendapatkan ibadah mereka itu
sedikit. Mereka bertanya, ‘Di mana kedudukan kami di sisi Nabi
Sholallahu ‘alaihi wassalam mengingat beliau telah diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu dan yang akan datang?’ Salah seorang di antara mereka
berkata, ‘Saya akan selalu melakukan solat malam.’ Yang lain berkata,
‘Saya akan selalu berpuasa dan tidak akan pernah berbuka.’ Dan yang
lainnya berkata, ‘Saya akan selalu menjauhi kaum wanita dan tidak akan
pernah kawin selamanya.’ Kemudian datanglah Rasulullah
sholallahu ‘alaihi wassalam dan bersabda, ‘Kaliankah yang mengatakan
begini dan begitu itu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang
paling takut kepada Allah daripada kalian, dan lebih bertakwa kepada-Nya
daripada kalian. Tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku melakukan
solat dan aku tidur, dan aku mengawini kaum wanita. Oleh karena itu,
barangsiapa yang tidak suka kepada sunnahku, maka ia bukan termasuk
golonganku’.”
Dari nash-nash ini tampak jelas
bagi setiap orang yang berakal, bahwa di dalam Islam perkawinan adalah
fitrah manusia agar seorang muslim dapat memikul amanat tanggung jawab
yang paling besar di dalam dirinya atas orang yang berhak mendapatkan
pendidikan dan pemeliharaan, pada saat ia menyambut panggilan fitrah,
menerima tuntutan-tuntutan naluri dan menjalankan sunnah kehidupan ini.
B. Perkawinan sebagai Kemaslahatan Sosial
Sebagaimana telah diketahui, bahwa
perkawinan di dalam Islam memiliki manfaat umum dan kemaslahatan sosial.
Akan kami sajikan yang paling penting dari persoalan tersebut, kemudian
kami jabarkan letak pertautannya dengan pendidikan.
1. Melindungi Kelangsungan Spesies Manusia
Dengan perkawinan,
umat manusia akan semakin banyak dan berkesinambungan, hingga tiba
saatnya (kiamat) Allah merusak bumi dan makhluk-makhluk yang berada di
atasnya. Tidak diragukan lagi bahwa di dalam kelestarian dan
kesinambungan ini terdapat suatu pemeliharaan terhadap kelangsungan
hidup spesies manusia dan terdapat suatu motivasi bagi kalangan
intelektual untuk meletakkan metode-metode pendidikan dan kaidah-kaidah
yang benar demi keselamatan spesies manusia, baik dari aspek rohani
maupun jasmani. Al Quran telah menjelaskan tentang hikmah sosial dan
maslahat kemanusiaan ini, dengan firman-Nya:
“Allah
menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu.” (QS. An Nahl: 72)
“Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak.”
(QS. An Nisa: 1)
(QS. An Nisa: 1)
2. Melindungi Keturunan
Melalui pernikahan
yang telah disyariatkan Allah kepada hamba-Nya, anak-anak akan merasa
bangga dengan pertalian nasabnya kepada ayah mereka. Terang, bahwa
dengan pertalian nasab itu terdapat penghargaan terhadap diri mereka
sendiri, kestabilan jiwa dan penghormatan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan mereka. Sekiranya tidak ada perkawinan yang disyariatkan
Allah, niscaya masyarakat akan penuh dengan anak-anak yang tidak
memiliki kehormatan dan keturunan. Yang demikian itu adalah hunjaman
yang sangat berat bagi nilai-nilai moralitas yang menyebabkan timbulnya
kerusakan dan sikap permisif.
3. Melindungi Masyarakat dari Dekadensi Moral
Dengan perkawinan,
masyarakat akan selamat dari dekadensi moral, di samping akan merasa
aman dari berbagai keretakan sosial. Bagi orang yang memiliki pengertian
dan pemahaman, akan tampak jelas bahwa jika kecenderungan naluri lain
jenis itu dipuaskan dengan perkawinan yang disyariatkan dengan hubungan
yang halal, maka umat –baik secara individual maupun komunal- akan
merasa tenteram dengan moralitas yang tinggi dan akhlak yang mulia.
Dengan demikian masyarakat dapat melaksanakan risalah sekaligus mampu
melaksanakan tanggung jawab yang dituntut oleh Allah. Alangkah tepatnya
sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam tentang hikmah
moral dalam perkawinan dan dampak sosialnya, yaitu ketika beliau
menganjurkan kepada sekelompok pemuda untuk menikah:
“Wahai para
pemuda, siapa saja di antara kalian sudah mampu kawin, maka kawinlah.
Sebab, perkawinan itu akan dapat lebih memelihara pandangan dan lebih dapat menjaga
kemaluan. Dan siapa saja yang belum mampu untuk kawin, maka hendaklah
ia berpuasa. Karena sesungguhnya berpuasa itu dapat menekan hawa nafsu. “
(HR Jama’ah)
4. Melindungi Masyarakat dari Penyakit
Dengan perkawinan,
masyarakat akan selamat dari penyakit menular yang sangat berbahaya dan
dapat membunuh, yang menjalar di kalangan anggota masyarakat akibat
perzinahan, dan selamat dari merajalelanya perbuatan keji serta hubungan
bebas secara haram. Di antara penyakit tersebut adalah penyakit
sipilis, AIDS, kencing nanah, dan berbagai penyakit berbahaya lainnya
yang membunuh keturunan, melemahkan fisik, menyebarkan wabah dan
menghancurkan kesehatan anak-anak.
5. Menumbuhkan Ketenteraman Rohani dan Jiwa
Dengan perkawinan,
akan tumbuh semangat cinta kasih sayang dan kebersamaan antara suami
istri. Ketika seorang suami selesai menunaikan pekerjaannya pada sore
hari, maka ia akan beristirahat di malam harinya, berkumpul bersama
keluarga dan anak-anaknya, ia akan melupakan segala keresahan yang
dialaminya di siang hari, dan segala kelelahan yang dialaminya selama
bekerja akan punah. Demikian pula halnya dengan istri ketika ia
berkumpul dengan suami dan menyongsong malam hari sebagai pendamping
hidupnya.
Demikianlah,
masing-masing mendapatkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan perkawinan.
Maha Besar Allah ketika mengilustrasikan fenomena ini dengan keterangan
yang sangat sempurna dan ungkapan yang sangat indah:
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.”
(QS Ar Rum: 21)
(QS Ar Rum: 21)
6. Kerjasama Suami Istri dalam Membina Rumah Tangga dan Mendidik Anak
Dengan perkawinan,
suami istri akan bekerja sama dalam membina rumah tangga dan memikul
tanggung jawab. Keduanya akan menyempurnakan pekerjaan yang lain. Istri
mengerjakan tugasnya yang khusus sesuai dengan kodrat kewanitaannya:
yakni mengurusi urusan rumah dan mendidik anak-anak. Tepatlah apa yang
dikatakan oleh seorang bijak:
Ibu adalah sebuah sekolah,
Yang apabila engkau persiapkan dia,
Berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa
Dengan dasar yang baik
Demikian pula dengan
suami, ia akan mengerjakan tugas yang khusus dengan tabiat dan
kelelakiannya: yaitu bekerja demi keluarganya, mengerjakan pekerjaan
berat dan melindungi keluarga dari bermacam-macam kerusakan dan musibah
yang menimpa setiap saat. Dalam hal ini jiwa tolong-menolong antara
suami istri tampak sempurna, keduanya berusaha mencapai hasil yang
paling utama dan buah yang paling baik di dalam mempersiapkan anak-anak
shaleh, dan mendidik generasi muslim yang di dalam hatinya membawa
kekuatan iman dan di dalam jiwanya membawa ruh Islam. Bahkan seluruh
anggota keluarga akan merasa nikmat, sejuk dan tenteram dalam naungan
cinta kasih, kebahagiaan, dan ketenteraman.
7. Menumbuhkembangkan Rasa Kebapakan dan Keibuan
Dengan perkawinan
akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang antara kedua pasangan suami
istri. Dan dari hati mereka akan terpancar sumber-sumber perasaan dan
sentuhan yang mulia. Terang, bahwa di dalam perasaan seperti ini
terdapat pengaruh mulia dan hasilnya positif di dalam memelihara
anak-anak, mengawasi kemaslahatan mereka, serta bangkit bersama mereka
menuju kehidupan yang tenteram dan aman, menyongsong masa depan yang
cerah dan mulia.
Itulah semua
kemaslahatan sosial yang lahir dari perkawinan. Penulis melihat adanya
pertalian antara berbagai kemaslahatan ini dengan pendidikan anak,
perbaikan keluarga dan regenerasi. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika syariat Islam memerintahkan, menganjurkan, dan
menyenangi perkawinan. Benarlah apa yang disabdakan Rasul Sholallahu ‘alaihi wassalam:
“Tidak ada
sesuatu yang berguna bagi orang muslim setelah takwa kepada Allah yang
lebih baik baginya daripada seorang istri salehah yang apabila suami
memerintahkannya, ia mematuhinya; apabila suami memandangnya, maka ia
menyenangkannya; apabila suami menggilirnya, maka ia mematuhinya; dan
apabila suami bepergian darinya, maka ia memelihara diri dan harta
(suaminya).” (HR. Ibnu Majah)
Dan sabdanya, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalehah.” (HR. Muslim)