
Saya kenal betul Al Ustadz Syaikh Abdullah Ulwan dari beberapa risalahnya yang pertama, Ila Warasatil Anbiya’i (Kepada Pewaris Para Nabi), kemudian dari risalah dan buku-bukunya yang lama seperti At Takafulul Ijtima’i fil Islam (Jaminan Sosial dalam Islam), Hatta Ya’lamasy Syabab (Agar Para Pemuda Mengetahui), Shalahuddin Al Ayyubi,
sebagaimana saya mengenalnya dari beberapa pembicaraannya dan
berkecimpungnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Saya telah
mengenalnya dari semua itu dan dari apa yang saya dengar tentang dia.
Sekiranya saya diminta untuk menilai dirinya, maka akan saya katakan,
bahwa dia adalah seorang beriman yang pandai dan hidup dalam sorot kedua
mata, sayap, hati, dan darahnya, sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam:
“…dan barangsiapa berumur panjang
sampai keesokan harinya tanpa memperhatikan urusan kaum muslimin, maka
ia tidak termasuk golongan mereka.”
Karenanya, ketika Anda menjumpainya akan
berbicara kepada para ulama untuk melaksanakan kewajiban menyampaikan
Islam dengan hikmah dan ajaran yang baik, maka ia menulis untuk mereka
risalah yang berjudul Ila Warasatil Anbiya-i. Dan
ketika berbicara kepada orang-orang awam, ia akan mengingatkan mereka
perihal audio visual, ia akan menerangkan kepada mereka tentang bahaya
dan berbagai pengaruh negatifnya yang tertuang di dalam risalahnya, Hukmul Islam fit Tillviziyyun (Hukum Islam tentang Televisi) yang ia kembangkan menjadi sebuah buku yang berjudul Syubuhat wa Rudud (Keragu-raguan dan berbagai sanggahan).
Ketika ia berbicara kepada para pemuda, maka ia menulis sebuah buku yang berjudul Hatta Ya’lamasy Syabab (Agar Para Pemuda Mengetahui).
Ketika ia berbicara kepada para pejabat urusan sosial masyarakat, maka ia menulis sebuah buku berjudul, At Takafulul Ijtima’i fil Islam (Jaminan Sosial dalam Islam).
Ketika ia merangsang rasa kerinduan kita kepada masa lalu, maka ia mengingatkan kita akan kebesaran masa lalu itu, dan menulis Shalahuddin Al Ayyubi.
Ketika ia berbicara kepada kaum muslimin
dengan konteks ilmu pengetahuan dan fikih, maka ia menulis untuk mereka
buku yang berjudul Ahkamuz Zakati (Hukum-Hukum Zakat) dan lainnya.
Ketika ia menunjukkan media untuk
menyelamatkan masyarakat dari bahaya-bahaya kapitalisme, maka ia menulis
untuk mereka sebuah buku yang berjudul Ahkamut Ta’min
(Hukum-Hukum Asuransi) dan menyebutkan bahaya-bahayanya serta
menjelaskan peran penggantinya yang benar dalam jaminan sosial yang
Islami.
Dan saat ini, kita berjumpa dengannya
dalam sebuah karya tentang Pendidikan Anak dalam Islam yang
dipersembahkan kepada mereka. Semoga Allah Subhanahu Ta’ala memberikan balasan yang baik, dan memberinya berkat dalam usia dan karyanya.
Dalam menyelesaikan bukunya yang
terakhir ini ia menjadikannya empat bagian, dengan isi bahasan mencapai
1376 halaman dalam format sedang. Hal ini menunjukkan bahwa ia
benar-benar mempunyai integritas cukup besar terhadap masalah pendidikan
generasi mendatang, di samping sangat mumpuni dalam ilmu pengetahuan.
Saya belum pernah menjumpai ada
seseorang yang menulis tentang pendidikan anak ditinjau dari sudut
pandangan Islam secara panjang lebar, luas dan jujur seperti yang telah
dilakukan oleh Al Ustadz Syaikh Abdullah Ulwan ini.
Saya belum pernah melihat seorang
penulis yang memperbanyak bukti-bukti Islami yang terdapat dalam Al
Quran, As Sunnah dan peninggalan para salaf (intelektual pendahulu) yang
saleh untuk menetapkan hukum. Wasiat dan adab, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh beliau.
Saya belum pernah melihat seorang
penulis yang mandiri di dalam pembahasan-pembahasan pendidikan yang
penting ini dengan referensi pada tulisan-tulisan kaum muslimin secara
murni, tanpa mengambil referensi kepada pendapat-pendapat mereka kecuali
dalam keadaan yang sangat terpaksa untuk maksud tertentu sebagaimana
yang telah dilakukan oleh Al Ustadz Syaikh Abdullah Ulwan. Yang demikian
itu, karena ia menulis untuk kepentingan kaum muslimin dan untuk
mengarahkan mereka, sehingga ia membatasi metodenya kepada Islam, dan
lagi pula karena ia memiliki budaya dan kultur yang berlandaskan Islam
serta berbagai pengalaman kaum muslimin terdahulu dan dewasa ini, maka
membuatnya tidak memerlukan pendapat orang lain (non muslim).
Saya belum pernah menjumpai seorang
penulis yang betul-betul gigih dan teguh dalam menulis topik “pendidikan
anak” sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Abdullah Nasih Ulwan ini.
Sebenarnya saya ingin menulis beberapa
tema dari bagian buku yang bermutu ini, sekaligus sedikit mengulas
beberapa poin yang penting, tidak banyak-banyak karena hanya sebagai
contoh dan pemberitahuan mengenai keberadaan buku ini. Akan tetapi
sengaja saya tidak melakukannya agar tidak terlalu memperbanyak tulisan
dalam kata pengantar ini, dan juga agar pembaca dengan sendirinya sampai
kepada apa yang ingin saya ulas.
Walaupun begitu, saya tetap mensitir
perkataan Prof. Abdullah Nasih Ulwan yang terdapat pada bagian penutup
di bawah judul “Saran-Saran Paedagogis.”
Beliau berpendapat bahwa saran-saran
tersebut terfokus pada hal-hal berikut: Merangsang anak untuk
mendapatkan pencaharian yang paling mulia; Memelihara kesiapan
instingtif anak; Memberikan ruang lingkup bagi anak untuk bermain;
Menciptakan hubungan antar rumah, masjid, dan sekolah; Mempererat
hubungan antara pendidik dengan anak; Mempergunakan metode pendidikan
pada siang dan malam; Menyediakan sarana-sarana edukatif bagi anak;
Merangsang anak untuk terus-menerus melakukan penelaahan; Memberikan
rasa tanggung jawab secara terus-menerus terhadap Islam; Memperdalam roh
jihad dalam jiwa anak.
Ia perlu menghabiskan 177 halaman untuk
menjelaskan saran-saran ini. Maka, apakah Anda menemukan bahwa penyusun
buku ini telah meninggalkan suatu celah kepada seseorang untuk menambah
uraian tentang kewajiban mendidik dan memelihara anak-anak?
Sudah sepatutnya bagi kaum bapak dan
ibu, juga bagi para pendidik dan orang-orang yang bertugas dalam dunia
pendidikan, dan alangkah layaknya bagi mereka semua untuk membaca buku Tarbiyatul Aulad fil Islam
(Pendidikan Anak dalam Islam) ini, dan sejalan dengan isi buku ini
dalam mendidik orang-orang yang akan memberikan warna kepada mereka.
Maka, sebagaimana sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam:
“Cukuplah dosa seseorang bila menyia-nyiakan dan menghilangkan jasa orang yang memberikan makan kepadanya.” (HR. Muslim)
Kehilangan yang bagaimanakah yang lebih
besar dan berbahaya dibanding melupakan hati dan menyelewengkannya dari
keutamaan atau membiarkannya hilang begitu saja lantaran sikap
meremehkan?
Kehilangan yang bagaimanakah yang lebih besar daripada keluar dari Islam dan menyimpang dari hukum-hukumnya?
Kehilangan apakah yang lebih fatal
dibandingkan kehilangan hati, akal, dan akhlak anak-anak? Jasad-jasad
mereka tak ubahnya seperti benda yang tak berguna. Seakan mereka tidak
hidup untuk sesuatu tujuan yang mulia?
Semoga Allah melestarikan Anda dan
orang-orang yang seperti Anda, wahai Syaikh Abdullah. Sehingga lahirlah
generasi ideal yang hidup sebagaimana kehidupan pertama yang idealis di
muka bumi ini, dan semoga Allah memberkatinya sebagaimana telah
memberkati generasi pertama, yakni generasi Rasulullah dan para
sahabatnya yang baik dan pilihan –semoga Allah meridai mereka. Dengan
demikian, Allah menjadikan khalifah di muka bumi, menetapkan baginya
agama yang diridai-Nya, menggantikan rasa cemas dengan rasa aman,
menegakkan panji-Nya di setiap bukit dan lembah, serta menjadikan agama
seluruhnya bagi Allah.
Tidaklah sulit bagi Allah untuk melakukan semua itu:
“Dan pada hari (kemenangan bangsa
Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan
Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Ar Ruum:4-5)
Wahby Sulaiman Al Ghawajji Al Albani
Sumber : http://www.hasanalbanna.com