Keberanian bu Fadillah
Bagi yang sudah membaca buku “Saatnya Dunia Berubah” atau “ “Tatkala
Leukemia Meretas Cinta” akan dapat menemukan nuansa lain dari
keberanian, perjuangan perempuan. Saya pribadi terkagum-kagum,
terhenyak, menyantap tulisan perjuangan bu Fadillah. Meski perjuangannya
meraih pro dan kontra (tidak akan kita bahas disini), pasti orang
bertanya tanya : kenapa kok perempuan berani demikian? Bu Fadilah
menceritakan bahwa semua karakter yang beliau miliki merupakan didikan
keluarga dan ibunda beliau. (Catat : lagi-lagi keluarga dan ibu adalah
pondasi )
Dengan jumlah saudara 9, bu Fadilah terbiasa harus bersikap adil
antar sesama saudara. Satu catatan menggelikan tetapi mengesankan adalah
pesan dari sang ibunda yang direpresentasikan dalam kehidupan
sehari-hari untuk bersikap adil. Di keluarga, saat makan, lauk harus
dibagi 2. Semua harus punya sparing partner. Lauk telus rebus, misalnya,
2 orang saudara harus ping-sut. Tau kan? Yang pakai jari jemari,
telunjuk VS jempol = menang jempol, kelingking VS jemppol = menang
kelingking dst. Nah, yang menang harus membagi telur dengan benang.
Dan….yang membagi telur dengan benang TIDAK BOLEH MEMILIH PERTAMA KALI.
Sehingga, yang kebagian mengiris (membagi dengan benang) harus
hati-hatiiii…supaya adil, sebab ia akan kebagian giliran terakhir untuk
memilih! Kisah kecil ajaran ibunda bu Fadilah menggoreskan prinsip,
bahwa sikap adil harus dimiliki oleh orang yang saat itu tengah punya
kekuasaan. Itulah sebabnya ketika menghadapi permasalah strain virus, bu
Fadilah ingin rakyat Indonesia mendapatkan bagian yang adil.
Cinta versi yang lain
Membaca ”Tatkala Leukemia Meretas Cinta”, membuat mata berkaca-kaca.
Padahal saat itu saya tengah menghadiri acara akbar, sembari menunggu
waktu, saya baca novel tersebut. Novel itu membuat kita akan merenung
akan makna pernikahan dan cinta. Banyak sudah kisah cinta yang
menginspirasi tetapi ada tulisan bu Fadilah yang semakin membuat saya
yakin, mencintai, menghargai lembaga pernikahan . ………. indahnya cinta
tak harus hadir dalam jubah kebahagiaan, tetapi bisa berbaju koyak
ketidakcocokan, cinta bisa bicara dalam duka derita. Apapun, cinta
sejati tak pernah ada penyesalan…… Sejak saat itu saya menjadi sadar,
bahwa pernikahan tak selamanya harus tenang, cocok, bahagia untuk
dikatakan pernikahan penuh cinta. Justru ketika kita berselisih faham
dengan suami dan anak-anak tentang beragam hal : ekonomi, peran, dakwah,
keluarga; saat itulah pernikahan cinta kita tengah mengalami
pengukiran, pemolesan dan semoga nilai-nilainya akan dapat diwariskan.
Badai yang menghantam sendi-sendi kerumahtanggaan, membuat kita sangat
kecewa terhadap pasangan, semoga bisa mendewasakan kedua belah pihak.
Pengusaha dan Negarawan versi mbak Yeyen
Berangkat dari 7 bersaudara dengan orangtua pegawai negeri, mbak
Yeyen terbiasa menjual apapun ketika kecil. Tomboy, jago menari,
mayorette pula. Untungnya beliau kemudian berjilbab. Ia menolak disebut
politikus, lebih memilih disebut negarawan. Beliau mengingatkan, jangan
jadi anggota dewan sebelm kaya. Mbak Yeyen mengingatkan betapa
pentingnya menjadi pengusaha. Pengsaha memberikan kontribusi luarbiasa
besar dalam perptaran negara. Tingkat pertumbuhan ekonomi di AS sekitar
20%, Indonesia 0,001%!
Ini karena anak-anak muda di AS terbiasa mencari uang sendiri dengan
mencuci mobil dst. Karakter wirausaha harus dididik sedini mungkin. Yang
membuat saya dan Inayah (kebetulan Inayah saya ajak ke acara tersebut)
bersemangat : banyak sekali pengusaha muda yang kayaraya! Marc
Zuckenber, misalnya, dan masih banyak lagi.
Usai acara, Inayah bersemangat : ayo Mi, kita jualan kue! Saya hargai
semangatnya. “Gak papa In, kita mulai dari yang kecil, jualan kue ke
teman-teman. Nanti pengalaman itu akan membuat kita semakin mengerti
dunia bisnis. Tapi….sempatkan juga menulis barang sedikit ya? Jangan
tinggalkan pekerjaan ulama itu…!” Sekarang bisnis mb Yeyen mulai baju
Dannis, sekolah, rumah makan, dan juga bisnis jaringan. Yang membuat
saya iri , mb Yeyen cerita bahwa beliau akan umroh dengan beberapa
saudara. Ia membiayai ongkos saudara2nya. Wah…senangnya bisa beramal
seperti itu. Hm, rasanya apa yang disampaikan oleh mb Yeyen ada
benarnya. Jika Allah SWT memberi 19 pintu bagi usahawan (maaf kalau
salah menukil makna hadits), kenapa harus berdesakan di satu pintu
dengan penjadi PNS?
Dunia Literasi dan Kebangkitan Negara
Kalau saya lebih banyak mengupas dunia literasi. Sebuah ilmu, bahkan
ketika masih menjadi hipotesa sekalipun, akan sangat baik bila
dituliskan. Tulisan itu akan menjadi rekam jejak untuk kemudian
dikritik, diperbandingkan, diperbaiki, diperbaharui sehingga muncul
tahapan-tahapan keilmuan yang berikut.
Psikoanalisa Sigmund Freud yang begitu membahana, ”hanya” tulisan
Freud mengenai Anna O/ Bertha Pappendheim yang histeria. Theodore Hertzl
menulis Judenstaat dan Altneuland yang menjadi buku sakti zionisme. Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang menjadi dasar-dasar gerakan feminisme. Emma Goldman menuliskan pengalaman hidupnya dalam Living My Life, menjadi dasar-dasar gerakan feminis anarkis.
Bagaimanapun ketidaksetujuan kita terhadap pemikiran-pemikiran
mereka, rasanya tak ada yang menyangkal bahwa ide-ide mereka menjadi
gerakan. Saya pribadi, mengagumi sosok Hasan Al Banna dan ingin sekali
mengetahui sepak terjang istri beliau Lathifah As Suli. Tetapi sangat
susah menemukan sosok Lathifah dalam bentuk tulisan yang bisa
dipelajari; bagaimana berliau membesarkan anak-anak, sukaduka
berkeluarga, dst. Gaza, sebuah negeri yang diblokade dan senantiasa
dalam intimidasi. Tetapi pemerintah HAMAS dengan kementrian kebudayaan
mencanangkan berdirinya perpustakaan-perpustakaan. Sekalipun sebagian
bangunan masih kosong, kepedulian terhadap perpustakaan, buku dan dunia
literasi menyebabkan negeri kecil seperti Gaza memiliki masyarakat yang
cerdas terdidik, dekat dengan ilmu pengetahuan dan senantiasa mau
belajar untuk mengatasi semua kendala kehidupan.
Tak ada salahnya, kita meniru Emma Goldman, perempuan yang
menceritakan pengalaman hidupnya. Pengalaman pribadi kita sebagai anak
perempuan, istri, ibu, pelajar, mahasiswa dst adalah kisah berharga yang
dapat ditularkan pada oranglain. Tak perlu merasa rendah diri dan
mengatakan : aku ini siapa sampai menulis otobiografi? Emma Goldman
sendiri tak menyangka kisah hidupnya menjadi dasar pergerakan. Siapa
tahu, kesederhanaan kita, perjuangan kita yang “bukan apa-apa” adalah
inspirasi bagi manusia di luar sana.
Sumber : http://sintayudisia.wordpress.com/2011/04/25/belajar-menjadi-ibu-perempuan-ala-bu-siti-fadillah-supari-bu-yulyani-dan-sinta-yudisia/