
Lanjutan .....
Di antara pengarahan Islam yang
bijaksana di dalam memilih istri adalah, mengutamakan wanita yang jauh
atas wanita yang seketurunan atau kaum kerabat. Hal ini dimaksudkan demi
keselamatan fisik anak dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat
secara heriditas, di samping untuk memperluas lingkungan kekeluargaan
dan mempererat ikatan-ikatan sosial.
Di dalam hal ini, fisik mereka akan
bertambah kuat, kesatuan mereka semakin kokoh dan terjalin, dan
perkenalan mereka bertambah luas. Tidak aneh bila Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam
memberikan peringatan agar sebaiknya tidak mengawini wanita-wanita yang
seketurunan atau sekerabat, agar anak tidak tumbuh besar dalam keadaan
lemah atau mewarisi cacat kedua ornag tuanya dan penyakit-penyakit nenek
moyangnya.
Di antara peringatan Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam tersebut adalah sabda beliau:
“Janganlah kalian menikahi kaum kerabat, sebab akan dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dan bodoh.”
Dan sabdanya:
“Carilah untuk kalian wanita-wanita
yang jauh, dan janganlah mencari wanita-wanita yang dekat (yang lemah
badannya dan lemah otaknya).”[1]
Dan ilmu tentang genetika telah
menetapkan, bahwa perkawinan dengan kaum kerabat akan melahirkan
keturunan yang lemah, baik fisik maupun kecerdasannya, dan anak-anak
akan mewarisi sifat-sifat moral yang hina dan kebiasaan-kebiasaan sosial
yang tercela.
Kebenaran ini telah ditetapkan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam
sejak empat belas abad yang lalu, sebelum ilmu pengetahuan datang
mengungkapkan teorinya dan menjelaskan kebenaran-kebenarannya bagi
orang-orang yang berakal.
Ini adalah salah satu mukjizat Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam yang utama dan agung, di samping sejumlah mukjizat lain yang benar.
4. Lebih Mengutamakan Wanita yang Masih Gadis
Di antara ajaran Islam yang sangat tepat
dalam memilih istri adalah, mengutamakan gadis dibandingkan janda. Yang
demikian itu dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan
manfaat yang agung.
Di antara manfaat tersebut adalah,
melindungi keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya,
yang menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan dan menyebarkan
kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali
cinta kasih suami istri. Sebab, gadis itu akan memberikan sepenuhnya
kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki pertama yang melindunginya,
menemui dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda. Kadangkala dari
suaminya yang kedua, ia tidak mendapatkan kelembutan yang sempurna,
kecintaan yang menggantikan kecintaan dari suami yang pertama dan
pertautan hati yang sesungguhnya, karena adanya perbedaan yang besar
antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua.
Tidak aneh bila kita melihat Aisyah radiyallahu ‘anha telah memberikan kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wassalam makna semua ini, ketika ia berkata kepada Rasullah sholallahu ‘alaihi wassalam:
“’Wahai Rasulullah sholallahu
‘alaihi wassalam, bagaimana pendapatmu jika engkau turun pada suatu
lembah yang di dalamnya terdapat sebatang pohon yang telah dimakan
sebagian daripadanya dan sebatang lain yang belum dimakan daripadanya.
Di mana engkau akan menggembalakan untamu?’ Rasulullah sholallahu
‘alaihi wassalam menjawab, ‘Pada pohon yang belum pernah digembalakan
daripadanya.’ Aisyah radiyallahu ‘anha berkata, ‘Maka aku ini adalah
pohon (yang masih utuh dan belum digembalakan daripadanya) itu.’” (HR. Bukhari)
Aisyah bermaksud menjelaskan keutamaannya dibanding istri-istri yang lainnya. Sebab Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah mengawini gadis, kecuali Aisyah.
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam telah menjelaskan sebagian hikmah mengawini gadis. Beliau bersabda:
“Kawinlah oleh kamu sekaliah
gadis-gadis. Sebab, mereka itu lebih manis pembicaraannya, lebih banyak
melahirkan anak, lebih sedikit tuntutan dan tipuan, serta lebih menyukai
kemudahan.” (HR. Ibnu Majah dan Al Baihaqi)
Rasulullah telah menjelaskan pula kepada Jabir radiyallahu ‘anhu bahwa mengawini gadis itu akan melahirkan kecintaan dan memperkuat aspek kesucian. Bukhari, Muslim dan lainnya meriwayatkan:
“Rasulullah sholallahu ‘alaihi
wassalam bertanyan kepada Jabir –ketika ia kembali dari perang Dzatur
Riqa’-, ‘Hai Jabir, apakah engkau telah kawin?’ Jabir menjawab, ‘Benar
wahai Rasulullah.’ Beliau juga bertanya, ‘Janda atau gadis?’ Jabir
mengaku, ‘Janda.’Tanyanya lagi, ‘Mengapa bukan seorang hamba (jariyah)
saja yang dapat kau permainkan dan dia mempermainkan engkau?’ Jabir
berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku tertawan pada waktu
perang Uhud dan mewariskan tujuh wanita bagi kami. Maka saya kawini satu
orang yang mencakup keseluruhannya (serba bisa) mewakili mereka dan
bertanggung jawab atas mereka.’ Beliau bersabda, ‘InsyaAllah engkau
benar.’”
Di antara yang diisyaratkan oleh hadis
Jabir adalah bahwa mengawini janda kadangkala lebih utama daripada
mengawini gadis dalam beberapa keadaan, seperti keadaan Jabir radiyallahu ‘anhu yang telah disebut tadi, demi menolong, memelihara dan bertanggung jawab atas anak-anak yatim, sebagai realisasi firman Allah Subhanahu Ta’ala:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maidah: 2)
5. Mengutamakan Perkawinan dengan Wanita Subur
Di antara ajaran Islam di dalam memilih
istri adalah memilih wanita subur yang banyak melahirkan anak. Dan hal
ini dapat diketahui dengan dua cara:
Pertama, kesehatan fisiknya
dari penyakit-penyakit yang mencegahnya dari kehamilan. Untuk mengetahui
hal itu dapat meminta bantuan kepada spesialis kandungam.
Kedua, melihat keadaan ibunya
dan saudara-saudara perempuannya yang telah kawin. Sekiranya mereka itu
termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak, maka biasanya wanita
itu pun akan seperti mereka.
Sebagaimana yang dapat diketahui secara
medis, bahwa wanita yang termasuk banyak melahirkan anak, biasanya
mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat. Wanita yang mempunyai
tanda-tanda seperti ini dapat memikul beban rumah tangganya,
kewajiban-kewajiban mendidik anak dan memikul hak-hak sebagai istri
secara sempurna.
Di antara yang perlu diingat di sini
adalah, bahwa bagi orang yang mengawini wanita yang banyak anak, dan
suka mempunyai banyak keturunan dan ingin melahirkan keturunan,
hendaklah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab, baik yang
berkenaan dengan memberikan nafkah, tanggung jawab mendidik maupun
tanggung jawab mengajar.
Jika ia tidak melaksanakan itu, maka ia bertanggung jawab kepada Allah Subhanahu Ta’ala atas apa yang telah ia lalaikan. Benarlah sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam:
“Sesungguhnya Allah akan meminta
pertanggungjawaban setiap penggembala atas apa yang ia gembalakan.
Apakah ia telah memelihara ataukah menghilangkan. Bahkan Allah akan
meminta pertanggungjawaban seseorang tentang keluarganya.” (HR. Ibnu Hibban)
Kesimpulan uraian di atas adalah bahwa,
bagi orang yang ingin melaksanakan tanggung jawab terhadap anak-anaknya
sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Islam, maka –jika ia hendak
menikah- hendaknya mencari wanita yang akan banyak melahirkan anak, agar
ia dapat melipatgandakan jumlah umat Muhammad yang telah dijadikan
Allah sebagai sebaik-baik umat yang ada di kalangan umat manusia. Yang
demikian itu tidak lain hanyalah salah satu di antara pengarahan
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam, yaitu ketika beliau
didatangi seorang laki-laki yang berkata kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai seseorang wanita yang
berketurunan, mempunyai kedudukan dan harta kekayaan, hanya saja wanita
itu tidak melahirkan anak. Apakah aku harus mengawininya?” Maka beliau
melarangnya. Kemudian datanglah wanita kedua, ketika mengatakan kepada
beliau seperti yang telah dikatakan oleh orang pertama tadi, maka beliau
bersabda:
“Kawinilah olehmu sekalian
wanita-wanita yang subur yang banyak melahirkan anak dan penuh
kecintaan. Karena aku sesungguhnya ingin memperbanyak umat dengan kamu
sekalian.” (HR. Abu Dawud, Nasai, dan Al Hakim)
Itulah prinsip-prinsip perkawinan dan
kaitannya dengan masalah-masalah pendidikan yang terpenting yang kami
sajikan kepada para pembaca. Pada dasarnya Islam menangani masalah
pendidikan individu dari unsur-unsur pertama bagi keluarga dengan
perkawinan. Sebab, perkawinan itu dapat memenuhi tuntutan fitrah dan
kehidupan, menyambungkan silsilah keturunan anak-anak dengan bapak-bapak
mereka, membebaskan masyarakat dari penyakit-penyakit yang sangat
berbahaya dan dari dekadensi moral, mewujudkan usaha saling membantu
antara suami istri di dalam mendidik anak-anak, dan menumbuhkan perasaan
kebapakan dan keibuan dalam diri mereka berdua.
Dan pula, karena perkawinan itu dibina
berlandaskan prinsip-prinsip yang kuat dan kaidah-kaidah yang praktis
dan benar di dalam memilih pasangan hidup, yang di antaranya dan
terpenting memilih atas dasar keturunan dan kemuliaan serta atas dasar
mengutamakan gadis. Seorang muslim harus mengetahui dari mana ia harus
mulai membina rumah tangga, membentuk keturunan yang saleh dan generasi
yang beriman kepada Allah.
Dengan itu ia telah meletakkan batu
fondasi di dalam rumahnya, yang di mana di atas batu itu akan berdiri
pusat-pusat pendidikan yang tepat, tiang-tiang perbaikan sosial dan
masyarakat yang berkepribadian. Batu itu adalah wanita salehah. Dengan
demikian, pendidikan anak di dalam Islam harus dimulai sejak dini, yakni
dengan perkawinan ideal yang berlandaskan prinsip-prinsip yang secara
tetap mempunyai pengaruh terhadap pendidikan dan pembinaan generasi.
Semua ini, hendaklah diingat oleh orang-orang yang berakal.
[1] Hadis ini ditakhrij (dikeluarkan) oleh Al ‘Iraqi dalam takhrijnya tentang hadis-hadis dari Al Ihya lil Ghazali, bahwa lafal hadis ini sebenarnya bukanlah hadis sahih, melainkan merupakan atsar dari kata-kata Umar bin Al Khaththab radiyallahu ‘anhu yang mengatakan kepada keluarga As Saib. Sedang hadis: “Janganlah kalian menikahi kaum kerabat, sebab akan dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dan bodoh.” Dikenal sebagai atsar yang juga dari Umar radiyallahu ‘anhu
dalam riwayat yang lain. Jika ada ulama atau seorang ahli yang
mengkhususkan di bidang hadis mengatakan, bahwa keduanya adalah hadis,
maka mereka menganggap keduanya adalah hadis marfu’. Wallahu a’lam.