Suara-suara mendengung bak lebah itu
menumbuhkan suasana syahdu dan khusyuk. Lantunan kalam Ilahi yang
meluncur dari lisan-lisan shalih itu bak mantera penguat jiwa. Muraja’ah hafalan surat-surat dalam Al-Qur’an serta talaqqi madahpenuh dengan semangat dan optimisme yang tinggi. Pertemuan pekanan ini ibarat ruh bagi jiwa, bak air untuk kehidupan.
Majelis pekanan yang lazim dikenal sebagai halaqah, tak bisa
dipungkiri adalah nadi bagi sebuah harakah Islamiyah. Di dalamnya, para
kader dakwah berinteraksi secara intim dan intens di bawah bimbingan
seorang Murabbi. Pertemuan-pertemuan pekanan semacam ini haruslah
dinamis dan produktif agar harakah Islamiyah dapat terus menggulirkan
amal-amal dakwah demi kejayaan Islam. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa
tak selalu halaqah ini berjalan mulus. Ada kalanya rutinitas pekanan ini
didera kelesuan. Karena bagaimanapun pribadi-pribadi di dalamnya adalah
manusia, bukan kumpulan para malaikat, yang memiliki iman yang
fluktuatif.
Mengapa sebuah halaqah tak lagi nyaman didatangi?
Pertama, disorientasi tujuan.
Motivasi orang mengikuti kajian rutin seperti halaqah sangat beragam.
Ada yang karena ingin mendalami ilmu agama. Ada yang tertarik oleh
ajakan kawan. Ada yang bersungguh-sungguh ingin menegakkan agama Allah.
Pun tak sedikit yang semangat berhalaqah agar naik jenjang keanggotaan
dalam jamaah. Nah, ketika dirasa peluang naik tingkat sangat kecil,
bukan tidak mungkin semangat yang sebelumnya menyala-nyala bisa langsung
padam. Disorientasi tujuan ini berkaitan erat dengan ruhiyah seseorang
sehingga ketika ada yang mengalami hal ini, maka pasokan ruhiyahnya
harus ditingkatkan. Bisikan-bisikan hawa nafsu harus ditepis agar
keikhlasan tetap terjaga. Komitmen bergabung dalam jamaah dakwah harus
dikuatkan kembali.
Kedua, pelaksanaan halaqah yang membosankan.
Bagaimanapun, mengelola halaqah ada seninya. Meskipun kurikulum sudah
ada, silabus sudah lengkap dan tujuan masing-masing materi sudah jelas,
tetap saja diperlukan strategi agar halaqah berjalan dinamis dan penuh
kesan. Halaqah yang melibatkan semua komponen dan bergerak menuju arah
yang sama tentulah halaqah yang sangat dinanti-nantikan kehadirannya.
Oleh karenanya setiap individu di dalam halaqah memiliki peranan yang
sangat penting demi mewujudkan halaqah yang dirindui.
Ketiga, hubungan Murabbi dengan mutarabbi.
Murabbi sebagai pemimpin dan pengendali halaqah memegang peranan yang
paling penting. Sosoknya haruslah mampu diterima semua anggota
kelompok. Tidak ada penolakan terhadap dirinya. Imam Hasan Al Banna
mengibaratkan figur ini sebagai syaikh dalam hal kepakaran ilmu, orang
tua dalam hal kasih sayang, guru dalam hal pengajaran, kakak dalam hal
teladan dan pemimpin untuk urusan ketaatan.
Pernah ada seorang mutarabbi yang menyampaikan kepada Murabbinya,
“Ustadz, saya usul dalam halaqah kita ketika adzan Isya’ berkumandang
marilah kita segera shalat berjamaah sebagaimana ketika kita shalat
Maghrib.” Tak dinyana, jawaban Sang Murabbi begini.”Akhi, saya ketika
halaqah dengan para doktor-doktor syariah biasa saja gak shalat
Isya’ jamaah waktu halaqah. Shalatnya nanti di rumah saja biar waktu
halaqah nggak terlalu lama. Saya rasa, yang perlu diperbaiki itu
komitmen Antum. Antum suka datang telat, waktu halaqah tidur, kurang
ihtiram, gak setor hafalan….”
Menjadi pemimpin, tak boleh alergi kritik sebagaimana menjadi
mutarabbi pun tak boleh alergi nasihat dan teguran. Ketika jawaban
tersebut disampaikan, maka si Al akh pun balik membalas, “Ustadz, saya
kan usul. Usul itu bisa diterima atau ditolak. Kalo diterima,
Alhamdulillah kalo nggak ya nggak apa-apa. Jangan malah membeberkan
aib-aib saya…”
Ketika hubungan Murabbi-Mutarabbi seperti ini –saling menyerang-
pastilah halaqah bukan lagi momen yang dirindukan. Ia akan menjadi waktu
yang tidak diharapkan, atau dijalani dengan terpaksa. Dihadiri tanpa
semangat. Oleh karenanya harus ada hubungan yang mesra antara Murabbi
dengan mutarabbi-nya. Jika hubungan ini sudah tercipta, niscaya halaqah
akan menjadi momen yang dinanti-nanti.
Keempat, melemahnya militansi.
Bisa jadi, masa-masa awal mengikuti halaqah adalah momen-momen yang
tak terlupakan. Berkobar-kobarnya semangat dan keinginan meninggikan
agama Allah. Setelah itu akan dirasakan kestabilan dan keadaan yang
biasa-biasa saja. Kesibukan dunia, rutinitas kerja, tuntutan-tuntutan di
luar dakwah dan kompleksitas dari ketiga faktor di atas akan melemahkan
militansi. Pada kondisi seperti ini, halaqah bisa berubah menjadi
sekedar rutinitas yang menjemukan. Hanya akan menjadi majelis ‘setor
muka’. Jika ini yang terjadi, maka wajarlah jika kelak lambat laun
halaqah tak akan lagi dirindui. Oleh karenanya, bangkitlah! Semangat itu
tak dicari, tapi ditumbuhkan. Kemudian dipupuk dan dijaga dari hama dan
virus yang akan melemahkannya. Militansi tak kenal musim. Ia harus
dijaga senantiasa hidup dan menjadi api perjuangan.
Wahai Saudaraku, mari tumbuhkan kerinduan akan hari itu. Hari
pertemuan kita dengan saudara yang diikat karena Allah. Hari yang di
dalamnya penuh keberkahan dan doa para malaikat. Satu hari dalam setiap
minggu yang kita dedikasikan untuk menghasilkan amal-amal dakwah dalam
bingkai harakah Islamiyah…
Oleh: Qonitatillah, MScSumber: dakwatuna.com